PPN Meningkat, Seberapa Besar Potensi Kepatuhan Pajak UMKM?

Linda Handayani | 2023-16-10 17:01:02 | a year ago
article-sobat-pajak
PPN Meningkat, Seberapa Besar Potensi Kepatuhan Pajak UMKM?

Jakarta - Beberapa negara di dunia beberapa tahun ke depan akan dihadapkan dengan resesi yang sangat besar, seperti yang kita tahu resesi adalah sebuah anomali ketika terjadi suatu kontraksi dalam aktivitas ekonomi secara signifikan dalam kurun waktu yang lama.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan menjadi 1,7% pada tahun 2023. Hal ini, semakin memperkuat isu tersebut. Resesi yang terjadi ini diprediksi, karena adanya pemicu yakni pandemi serta krisis keuangan global.

Dalam menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia harus memiliki strategi agar tetap mempertahankan konsisi perekonomian domestik. Salah satu instrumen yang bisa digunakan oleh Indonesia untuk mengurangi resesi yaitu meningkatkan penerimaan negara yaitu dalam bidang perpajakan. Objek pajak yang memiliki potensi untuk digali yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

UMKM di Indonesia yaitu faktor kunci dalam penyelesaian resesi yang dihadapi Indonesia. Walaupun memiliki potensi yang besar, namun pada kenyataan masih banyak UMKM yang belum terdaftar sebagai penanggung pajak. Hal ini dikarenakan, para pelaku UMKM ini tidak mendaftarkan usahaanya untuk menghindari pajak usaha.

Kontribusi besar UMKM di Indonesia dalam PDB tidak diikuti oleh pencapaian pajaknya yang hanya 0,5% dari total penerimaan pajak Indonesia. Melihat fenomena ketidakpatuhan UMKM ini ditambah lagi terdapat peningkatan tarif PPN mengacu pada penerbitan UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Ketidakpatuhan pajak UMKM ini akan diperkirakan semakin meningkat setelah adanya peningkatan terhadap tarif PPN. Akibat yang akan ditimbulkan dari ketidakpatuhan UMKM ini yaitu kurang optimalnya penerapan perpajakan di Indonesia, walaupun telah melampaui target. Perilaku ini bisa disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal dari pemilik UMKM.

Pemilik UMKM merupakan wajib pajak orang pribadi yang melakukan suatu kegiatan usaha sehingga dikenakan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar 0,5%, tetapi banyak pelaku UMKM tidak akan merespon positif terkait dengan perpajakan di Indonesia. Misalnya, perubahan tarif PPN dari yang awalnya 10% menjadi 11%. Selain hal tersebut, kepatuhan wajib pajak juga dipengaruhi oleh kesadaran serta pengetahuan wajib pajak terkait dengan kebijakan peningkatan tarif PPN.

UMKM merupakan suatu usaha yang dijalankan baik itu oleh perorangan maupun badan usaha berskala mikro, perkembangan UMKM di Indonesia ini sangat memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan perekonomian di Indonesia, alasannya yaitu UMKM mempunyai potensi dalam menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar, berkontribusi terhadap pembentukan PDB yang memiliki sifat dominan, serta mempunyai keunggulan dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) serta padat karya.

Berdasarkan PP No. 7 Tahun 2021, UMKM di Indonesia dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu mikro, kecil, serta menengah. Sementara itu, menurut PMK No.197/PMK.03/2013, UMKM dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta Non Pengusaha Kena Pajak (Non-PKP). PKP merupakan perusahaan yang telah mempunyai omzet lebih dari 4,8 milliar. Sementara itu, Non PKP merupakan perusahaan yang mempunyai omzet lebih kecil dari 4,8 milliar.

Kepatuhan pajak (tax compliance) adalah permasalahan utama dalam sistem perpajakan Indonesia. Kepatuhan pajak diartikan sebagai kemauan seorang wajib pajak dalam mematuhi segala peraturan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan pajak (tax compliance) dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kepatuhan pajak (tax compliance) formal dan kepatuhan pajak (tax compliance) material.

Kepatuhan pajak (tax compliance) formal atau yang kita kenal dengan kepatuhan pajak administratif merupakan kepatuhan pajak yang berindikator sejauh mana wajib pajak yang bersangkutan patuh terhadap persyaratan prosedural serta administrasi perpajakan sesuai dengan ketentuan formal dalam undang-undang perpajakan. Indikator tersebut sudah termasuk syarat pelaporan dan waktu untuk menyampaikan serta melakukan pembayaran pajak tersebut.

Sementara itu, kepatuhan pajak (tax compliance) material atau yang kita kenal dengan sebutan kepatuhan pajak teknis merupakan kepatuhan pajak yang berindikator pada wajib pajak yang telah memenuhi ketentuan material perpajakan berdasarkan isi dan jiwa undang-undang perpajakan yang meliputi pendaftaran diri, pelaporan SPT secara benar, lengkap, dan jelas, serta kepatuhan dalam melakukan pembayaran perpajakan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan istilah yang digunakan dengan hemat ketika mengacu pada konsumsi nasional atas barang maupun jasa tertentu. Dengan kata lain, konsumen akhir sebagai pajak tanggungan tidak perlu membayar segera pajak yang terbebankan, hal ini dikarenakan besaran pajaknya telah disetorkan oleh pedagang barang maupun jasa tersebut.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN yang sebelumnya memiliki besaran 10% diubah menjadi 11% per tanggal 1 April 2022 dan rencananya 12% per tahun 2025 mendatang. Kenaikan tarif PPN menjadi 11% tahun 2022 serta 12% di tahun 2025 ini pun tidak berarti bahwa seluruh kategori barang maupun jasa dikenakan pajak.

Terdapat beberapa kategori produk yang tidak terkena PPN di antaranya yaitu barang kebutuhan pokok untuk khalayak umum, makanan serta minuman yang terdapat di restoran, hasil tambang dan emas, uang, dan surat berharga. Adapun, kategori jasa yang tidak terkena PPN yaitu layanan sosial, kesehatan medis, keuangan, pengiriman surat dengan prangko, luar negeri serta ketenagakerjaan.

Tujuan dari dinaikkannya tarif PPN oleh pemerintah yaitu sebagai upaya penyehatan kembali APBN yang belanjanya sempat mengalami kenaikan drastis selama pandemi Covid-19. Namun, karena sifat PPN Indonesia masih belum netral, maka netralitas PPN berarti dalam pemungutannya tidak memengaruhi keputusan ekonomi dari pelaku bisnis maupun konsumen.

PPN dapat dikatakan netral ketika pembeli akan dipungut PPN di mana pun ia melakukan transaksi jual beli, baik itu secara tradisional maupun modern serta secara offline maupun online. Salah satu belum netralnya PPN Indonesia tersebut diakibatkan, karena tingginya threshold PKP, yaitu sebesar 4,8 miliar. Kenaikan tarif PPN ini juga diikuti dengan perubahan threshold PPh Orang Pribadi serta ketentuan PPh Final UMKM yang menyebabkan kenaikan profitabilitas UMKM.

Profitabilitas yang meningkat ini bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu dari sisi internal UMKM serta dari sisi konsumen. Dari sisi internal UMKM, berkurangnya beban perpajakan pelaku UMKM akan menyebabkan kelonggaran keuangan yang akan menyebabkan terdorongnya optimalisasi produksi.

Di sisi lain, disposable income konsumen turut bertambah dengan adanya perubahan lapisan tarif PPh Pasal 21 sehingga hal ini akan menyebabkan pendapatan yang bisa dibelanjakan turut meningkat. Hal ini juga mengakibatkan, masyarakat sebagai konsumen tidak akan terlalu terbebani dengan adanya kenaikan tarif PPN karena beban PPh mereka juga menjadi lebih rendah. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan negara, baik dari sektor PPN maupun PPh-nya. Pertama, penerimaan PPh Indonesia akan mengalami peningkatan seiring peningkatan profitabilitas UMKM. Selain itu, penerimaan PPN akan meningkat dengan terjadinya perkembangan bisnis yang berkaitan dengan Usaha Mikro/Kecil menjadi PKP.

Kepatuhan wajib pajak para pelaku UMKM masih mempunyai potensi untuk berubah-ubah. Hal tersebut dikaitkan juga dengan faktor eksternal, misalnya reformasi perpajakan, besaran tarif PPN, manfaat NIB, serta program Go Digital UMKM. Walaupun tarif PPN dinaikkan, potensi kepatuhan wajib pajak UMKM bisa diprediksikan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan terdapat pengaruh oleh kebijakan pemerintah lainnya, sehingga kepatuhan wajib pajak UMKM menjadi meningkat meskipun terdapat kenaikan tarif PPN.

Article is not found
Article is not found